Jumaat, 26 April 2013

Atraktor Rangsang Cumi-cumi Bertelur


Atraktor Rangsang Cumi-Cumi Bertelur
Kabar gembira bagi para nelayan yang biasa menangkap cumi-cumi di laut. Kini, tak perlu lagi mengalami masa paceklik sejak ditemukannya teknik membudidayakan cumi-cumi.
Indonesia memang sudah terkenal dengan basil lautnya dan merupakan salah satu produsen komoditas perikanan yang memasok produksinya ke berbagai mancanegara. Salah satu komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi yang juga merupakan produk ekspor andalan negara kita adalah cumi-cumi. Itu ditandai dengan nilai ekspor binatang laut yang dikelompokkan ke dalam hewan yang memiliki kaki di kepala ini (keluarga chephalopoda) selama lima tahun terakhir terus meningkat.
Selama ini Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa merupakan negara tujuan utama ekspor biota laut yang memiliki nama latin lepiotenhis lessoniana. Di banyak negara cumi-cumi selain dimanfaatkan untuk bahan baku berbagai jenis makanan, juga digunakan sebagai umpan untuk memancing ikan di laut.
Eskpor cumi-cumi yang pada tahun 2001 mencapai 13 ribu ton lebib (senilai US$ 22 ribu) nilai produksi ekspornya menunjukkan peningkatan yang cukup tajam pada tabun 2005. Tahun lalu jumlahnya berlipat menjadi 25 ribu ton lebih (senilai lebih dari US$ 42 ribu). Peningkatan nilai ekspor ini ternyata masih jauh lebih kecil dari kebutuhan cumi-cumi di pasar dunia.
Di Amerika tahun lalu saja membutuhkan 640 ribu ton cumi-cumi. Di saat yang sama Jepang membutuhkan 580 ribu ton, sementara produksi dalam negerinya hanya mampu menghasilkan sekitar 200 ribu ton saja. Sebagai informasi barga cumi-cumi di negara sakura ini kini mencapai US$ 2,5 per kilogram. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa peluang ekspor cumi-cumi masih terbuka lebar dan cukup menjanjikan.
Meski hasil ekspor cumi-cumi memperlibatkan tren yang terus membaik setiap tahunnya, bukan berarti selama ini tidak ada kendala yang dihadapi oleh para nelayan dalam berburu cumi-cumi. Hampir seluruh hasil ekspor cumi-cumi Indonesia saat ini masih mengandalkan hasil tangkap dari laut. Artinya pasokan nelayan sangat tergantung dari musim. Seperti misalnya di selat Alas (selat yang menghubungkan antara pulau Lombok dan sumbawa) pada periode Oktober – April merupakan masa panen cumi-cumi, tiap bulannya tangkapan para nelayan rata-rata bisa mencapai lebih dari 100 ton. Sebaliknya selama April – September merupakan saat paceklik cumi-cumi, pada saat paceklik para nelayan ini tentu saja pendapatannya akan menurun bahkan bisa saja terjadi sama sekali tidak ada pemasukan dari basil tangkap cumi-cumi ini.
Selain itu, keberadaan cumi-cumi ini juga sangat tergantung dari kondisi ekosistem terumbu karang. Terumbu karang bagi cumi-cumi merupakan tempat untuk bertelur dan mencari makanan. Sayangnya kondisi terumbu karang di perairan Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Departemen Kelautan dan Perikanan total luas terumbu karang Indonesia mencapai 60 ribu kilometer persegi, sementara yang kondisinya dianggap masih baik kurang dari 6%. Sisanya yang 94 % tentu saja sangat buruk keadaannya. Melihat fenomena ini maka bisa diprediksikan bahwa dalam beberapa tahun lagi populasi cumi-cumi akan mulai berkurang. Hal ini tentu saja juga akan mengakibatkan penurunan produksi ekspor cumi-cumi.
Populasi cumi-cumi semakin hari kian terancam keberadaanya, mengingat kini makin meningkat intensitas pencemaran dan kerusakan lingkungan di laut. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap ekosistem laut terutama cumi-cumi yang tergolong hewan yang amat peka terhadap pencemaran. Sedikit saja terjadi perbedaan kualitas air akanmenghindar dari kawasan perairan tersebut.
Melihat ancaman yang serius dari keberadaan cumi-cumi ini, Mulyono S. Baskoro, Peneliti dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor, melakukan penelitian untuk mengembangkan teknik budidaya cumi-cumi. Baskoro pun kini mulai menikmati hasil kerja kerasnya selama ini dalam menemukan teknik membudidayakan cumi-cumi.
Dalam memulai penelitian budidaya cumi-cumi ini, Baskoro memang dihadang berbagai kendala. Diantaranya disebabkan oleh perilaku hewan itu sendiri yaitu belum mau dikawin paksa. Maksudnya hewan ini tetap saja hanya mau bertelur di habitat aslinya. Untuk mengatasi hal ini, Baskoro menemukan sebuah cara yang cukup cerdik, yakni dengan menyediakan tempat khusus untuk induk cumi-cumi bertelur yang disebut atraktor. Atraktor ini dipasang di habitat aslinya. Setelah sang induk bertelur baru telur-telur tersebut dipindahkan ke keramba jaring apung untuk ditetaskan. Lewat cara ini, Baskoro tidak memaksakan induk cumi-cumi untuk bertelur di luar habitatnya.
Atraktor ini sebenarnya merupakan alat sejenis rumpon dengan desain menyerupai bentuk seperti kelopak bunga. Berdiameter 120 cm dan tinggi 35 cm. Untuk membuat alat ini sangatlah mudah. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membuat alat ini pun gampang diperoleh di mana saja. Seperti kawat, tambang dan lembaran plastik hitam yang berfungsi untuk menutup bagian atas rumpon ini. “Untuk membuat satu unit atraktor hanya membutuhkan biaya Rp 300 ribu,” ujar Baskoro.
Pakannya Tak Terlalu Sulit
Alat ini memang dibuat sedemikian rupa agar cumi-cumi betah berada di dalam sarang buatan ini. Di dalam atraktor ini ditempatkan serabut-serabut dari tali agar mirip tumbuhan laut, tempat cumi-cumi biasa meletakkan telurnya. Di bagian atas atraktor ditutup dengan plastik hitam agar kondisi di dalam rumpon ini gelap tak tersentuh cahaya matahari. Ini sengaja dilakukan sebab biota laut yang satu ini memang tergolong hewan yang aktif di saat malam hari.
Meskipun terlihat sederhana namun untuk penelitian membuat sarang bagi induk cumi-cumi ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Baskoro telah melakukan penelitian penggunaan atraktor ini sejak empat tahun yang lalu. Penelitian untuk budidaya cumi-cumi dan penemuan atraktor ini sejatinya memang dilakukan Baskoro untuk menolong para nelayan cumi-cumi. “Ide awal membuat alat ini adalah agar para nelayan tidak kekurangan pasokan cumi-cumi di saat musim paceklik,” ujarnya.
Untuk mempergunakan alat ini, Baskoro menganjurkan agar seyogyanya diletakkan di dasar perairan – sekitar 5 – 7 meter dari permukaan laut – yang memang telah di ketahui menjadi habitat cumi-cumi. Yakni di dasar perairan sekitar terumbu karang dengan kondisi perairan yang jernih dan arus yang tidak terlalu kuat. Biasanya bila melihat tempat yang “nyaman dan asyik” cumi-cumi dewasa akan segera kawin di dalam sarang buatan ini. Idealnya penempatan atraktor ini dilakukan pada saat musim panen cumi-cumi.
Setelah satu bulan diletakkan baru terlihat ada telur cumi-cumi yang diletakkan induknya di alat tersebut. Kemudian selanjutnya telur-telur itu dipindahkan ke lokasi jaring apung untuk ditetaskan. Lokasi jaring apung ini sebaiknya jangan terlalu jauh dengan lokasi penempatan atraktor. Hal ini, selain tidak efisien juga akan menambah resiko rusaknya telur saat dipindahkan. Sekitar dua minggu setelah dipindahkan baru telur-telur itu akan menetas. Empat bulan kemudian setelah di pelihara di jaring apung dengan padat penebaran sekitar 50 ekor per meter3 cumi-cumi ini siap dipanen.
Sumber: Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan,DKP
Seekor induk cumi-cumi rata-rata mampu menghasilkan sekitar 500 butir telur. Pembudidaya cumi-cumi seyogyanya memiliki 10 unit atraktor. Artinya saat masa panen cumi-cumi tiap bulannya mampu mengumpulkan telur cumi sebanyak 5000 buah. “Lewat teknik ini tingkat keberhasilan-nya hingga panen mencapai 85%,” kata Baskoro. Artinya saat panen dari 5000 telur itu akan menghasilkan 4250 ekor cumi-cumi dengan berat sekitar 425 kg. Di tingkat petani harga cumi-cumi saat ini mencapai sekitar Rp 22 ribu per kilogramnya. Jadi dengan produksi sebanyak itu pembudidaya akan mendapatkan pendapatan Rp 9,3 juta.
Mengenai pakan, cumi-cumi tergolong mudah dalam pemberian pakan. Hewan ini tergolong hewan pemakan daging (karnivora) oleh sebab itu semua biota laut yang bisa masuk mulutnya akan dimakan. Seperti kerang, ikan dan hewan laut lainnya. Untuk pemeliharaan juga tidak terlalu sulit. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai ada pakan yang tersisa di jaring apung. Ini akan mengundang hewan laut lainnya (ikan atau kepiting) untuk mengambil sisa pakan tersebut di dalam jaring. Jika ini terjadi ada kemungkinan jaring akan putus, akibatnya cumi-cumi bisa kabur ke laut bebas.
Satu lagi yang harus menjadi perhatian serius bagi pembudidaya cumi-cumi adalah soal pemilihan lokasi jaring apung, lokasinya harus jauh dari kegiatan industri dan keramaian. Sebab sedikit saja terjadi pencemaran di perairan tersebut maka sudah dapat dipastikan seluruh cumi-cumi peliharaannya akan mati sia-sia. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan pembudidaya itu sendiri.
Sumber : Malajah Demersal Agustus 2006














Transfer Teknologi Set-net di Bone

          Set-net digadang menjadi alternatif solusi alat penangkap ikan yang efektif dan ramah lingkungan
          Set-net yang dalam bahasa jepang disebut teichi ami merupakan salah satu teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yang pengoprasiannya bersifat perangkap (trap). Target tangkapan dari alat tangkap set-net adalah ikan atau gerombolan ikan yang sedang melakukan migrasi kearah pantai (coastal migration).
          Maka dari itu alat ini dipasang menetap pada suatu daerah penangkapan ikan (fishing ground). prinsip kerja set-net ini adalah dengan menghalau ruaya ikan, jalan yang dilalui oleh ikan dihadang oleh jaring penaju, sehingga ikan akan merubah arah ruayanya menuju pintu masuk jaring yang telah terpasang sedemikian rupa dan berakhir pada bagian kantong.
          Set-net masuk dalam golongan alat tangkap pasif, di indonesia terdapat berbagai jenis alat tangkap yang sejenis dengan set-net seperti bubu, sero (dalam bahasa Bugis disebut belle), jermal, atau jenis perangkap lainnya. bedanya set-net dipasang pada perairan yang dalam, namun prinsip kerjanya sama yakni bersifat perangkap. 
          Ada banyak jenis dan type set-net seperti dai ami (keddle net), masu ami (pot net), hari ami (fyke net), dashi ami (barier net),eri mai (sero), dan otoshi ami (trap net). Set-net dikabupaten Bone masuk dalam type otoshi ami (trap net).

          Beberapa keunggulan set-net antara lain hemat bahan bakar karena set-net dipasang secara menetap sehingga kapal tidak perlu lagi berlayar jauh dari fhising base dan dipasang secara menetap sehingga kapal tidak perlu lagi berlayar jauh untuk mencari ikan. dalam mengoprasikannya pun tidak butuh waktu lama dan dapat dilakukan secara terus menerus selama memperhatikan perawatan bagian-bagian set-net.
          Teknologo set-net diharapkan dapat mengatasi masalah penggunaan alat tangkap ikan yang terlampau sederhana, kurang selektif terhadap ikan, dan berpotensi merusak ekosistem laut. Alat tangkap yang tidak efektif akan mengakibatkan pemborosan bahan bakar minyak (BBM) karena waktu melaut menjadi lebih lama dengan hasil tangkapan yang lebih rendah.
          Teknologi set-net sangat hemat BBM kerana umumnya alat tangkap ini dipasang pada jarak 1 mil laut sampai 2 mil laut dari daratan. Waktu pengoprasian set-net dari mulai berangkat menuju tempat set-set terpasang sampai proses pengambilan ikan dan kembali lagi ke fhising base (daerah penangkapan ikan) memerlukan waktu  sekitar 2-4 jam tergantung ukuran set-net yang digunakan.
keunggulan Set-net
          Keunggulan terpenting adalah set5-net ramah lingkungan karena jaring yang terpasang dilaut dapat berfungsi sebagai tempat berlindung (shelter) bagi ikan-ikan yang berukuran kecil, tempat bertelur beberapa jenis cumi-cumi, dan tempat ikan-ikan kecil mencari makan. alat ini juga mendukung penangkapan selektif karena ikan-ikan yang belum layak konsumsi dan hewan laut yang dilindungi seperti penyu bisa lepas kembali. penggunaan set-net ini bisa menggantikan cara penangkapan ikan yang merusak lingkungan, seperti trawl atau pengguna bahan peledak.
          Dari sisi kualitas hasil tangkapan, ikan eks set-net dapat pula dipasang dan dipadukan dengan kegiatan budidaya laut lainnya karena bersifat statik.
          Namun sebelum mengaplikasi alat ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. antara lain pemilihan lokasi (fhising ground) yang tepat, dan akurasi penggunaan keberadaan dan arah ruaya ikan. selanjutnya, perlu dipastikan/dipetakan faktor oceanografi pada lokasi penempatan set-net.
          Tidak kalah penting, faktor kondisi sosial ekonomi masyarakat dan faktor keamanan pada lokasi penempatan juga harus dipastikan agar keberadaan alat ini dapat lestari. Kemampuan dan keterampilan SDM dalam melakukan kegiatan set-net tersebut harus dipersiapkan secara matang agar kelak tidak mangkrak.
Kerhasama Jepang 
          Program transfer teknologi set-net diperairan Tanjung Pallete kecamatan Tanate Riattang Timur kabupaten Bone Sulawesi Selatan merupakan kerjasama pemerintah Indonesia dengan Jepang. Pada pelaksanaannya, tim Jepang yang dipimpin oleh Prof Dr Takafumi Arimoto ini beranggotakan tenaga ahli dari Tokyo University of Marine Science and Technology (TUMSAT), Himi City, IC NET Limited, dan JICA Tokyo.
          Guna menerima transfer teknologi ini, Pemerintah Indonesia melibatkan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Hasanuddin (Unhas), Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negri Bone, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Selatan,DKP kabupaten Bone, serta masyarakat nelayan Kelurahan Pallete. Proses transfer teknologi set-net dimulai pada Agustus 2010 yang dibiayai oleh JICA Tokyo Jepang.
          Project dimulai dari persiapan dan pengadaan bahan atau material set-netsampai dengan konstruksi set-net. proses konstruksi set-net dilakukan dikampus SUPM Negri Bone dengan melibatkan siswa program Studi Nautika Perikanan Laut. Instalasi alat tangkap set-net dilakukan pada akhir bulan februari 2008, sedengkan operasi penangkapan dimulai pada tanggal 3 maret 2008.
          Program ini berlangsung selama 3 tahun dan dibawah pengawasan langsung oleh tim dari Jepang. pengoprasian awal set-net ini dibantu oleh alumni SUPM Negri Bone yang telah magang pada alat tangkap set-net di Jepang selama 3 tahun. 
          Selanjutnya, pelaksana pengoprasian dan perawatan set-net selama 3 tahun dilakukan oleh kelompok nelayan yang telah dibentuk. Set-net dioprasikan pada pagi hari dan awalnya dilakukan oleh 25 nelayan yang terbentuk dalam 1 kelompok, namun karena beberapa hal dan seiring dengan berjalannya waktu saat ini pengoprasian set-net dilakukan oleh 7 orang.
          Pengoprasian tetap didampingi oleh teknisi dari SUMP Negri Bone dan dibantu oleh beberapa siswa SUMP Negri Bone yang bergiliran ikut dalam kegiatan pengoprasian dan perawatan alat ini. Sebab untuk pengoprasian sistem manual (tenaga manusia) dengan ukuran set-net seperti yang dilakukan di Bone idealnya dilakukan oleh 10 sampai 15 orang.

          Setelah 3 tahun berjalan berakhirlah pembiayaan dari JICA, sehingga sejak bulan Agustus 2010 keberlanjutan program ini deserahkan kepada SUPM Negri Bone dengan tetap bekerja sama dengan nelayan dan DKP Bone.
Spesifikasi Teknis
          Secara teknis, harus dilakukan pemeriksaan secara rutin terhadap kondisi dan posisi setiap bagian dari set-net, seperti posisi pemberat rangka kondisi setiap bagian jaring dan pelampung, serta kondisi tali dan simpulnya. Selanjutnya, diperlukan perawatan  terhadap bagian-bagian set-net secara berkala baik perawatan dilaut maupun perawatan didarat. untuk itu mutlak disediakan lokasi yang mendukung dalam melakukan kegiatan perawatan set-net di darat.
          Bagian-bagian utama set-net yang terpasang di Bone terdiri dari Penaju (leader net/ michi-ami/ kaki-ami), serambi (play ground/ondo-ba/ondo-jo), jaring menarik (slope net/ nobori-ami),kantong (chamber net/hako-ami), rangka utama (main frame), tali rangka, pelampung (float), dan pemberat (sand bag). panjang penaju set-net di kab Bone mencapai 240 m ditambvah dengan penaju tambahan 25 m dengan mesh size 242,4 mm.
          Panjang tali rangka serambi sampai kantong 150 meter dan lebar 22,5 m.  mesh size (mata jaring) bagian serambi dan slope net selebar 121,2 mm sedangkan mesh size bagian kantong adalah 1inci (224 mm). untuk pemberat pengganti jangkar digunakan 1.500 buah sand bag yang dibuat dari karung diisi kerikil seberat kurang 50 kg.set net di perairan Tanjung Pallete Bone ini dibenamkan hingga kedalaman 15 meter.   



Tiada ulasan:

Catat Ulasan