Atraktor
Rangsang Cumi-Cumi Bertelur
Kabar
gembira bagi para nelayan yang biasa menangkap cumi-cumi di laut. Kini, tak
perlu lagi mengalami masa paceklik sejak ditemukannya teknik membudidayakan
cumi-cumi.
Indonesia
memang sudah terkenal dengan basil lautnya dan merupakan salah satu produsen
komoditas perikanan yang memasok produksinya ke berbagai mancanegara. Salah
satu komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi yang juga merupakan produk
ekspor andalan negara kita adalah cumi-cumi. Itu ditandai dengan nilai ekspor
binatang laut yang dikelompokkan ke dalam hewan yang memiliki kaki di kepala
ini (keluarga chephalopoda) selama lima tahun terakhir terus meningkat.
Selama
ini Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa merupakan negara tujuan utama
ekspor biota laut yang memiliki nama latin lepiotenhis lessoniana. Di banyak
negara cumi-cumi selain dimanfaatkan untuk bahan baku berbagai jenis makanan,
juga digunakan sebagai umpan untuk memancing ikan di laut.
Eskpor
cumi-cumi yang pada tahun 2001 mencapai 13 ribu ton lebib (senilai US$ 22 ribu)
nilai produksi ekspornya menunjukkan peningkatan yang cukup tajam pada tabun
2005. Tahun lalu jumlahnya berlipat menjadi 25 ribu ton lebih (senilai lebih
dari US$ 42 ribu). Peningkatan nilai ekspor ini ternyata masih jauh lebih kecil
dari kebutuhan cumi-cumi di pasar dunia.
Di
Amerika tahun lalu saja membutuhkan 640 ribu ton cumi-cumi. Di saat yang sama
Jepang membutuhkan 580 ribu ton, sementara produksi dalam negerinya hanya mampu
menghasilkan sekitar 200 ribu ton saja. Sebagai informasi barga cumi-cumi di
negara sakura ini kini mencapai US$ 2,5 per kilogram. Dari data ini dapat
disimpulkan bahwa peluang ekspor cumi-cumi masih terbuka lebar dan cukup
menjanjikan.
Meski
hasil ekspor cumi-cumi memperlibatkan tren yang terus membaik setiap tahunnya,
bukan berarti selama ini tidak ada kendala yang dihadapi oleh para nelayan
dalam berburu cumi-cumi. Hampir seluruh hasil ekspor cumi-cumi Indonesia saat
ini masih mengandalkan hasil tangkap dari laut. Artinya pasokan nelayan sangat
tergantung dari musim. Seperti misalnya di selat Alas (selat yang menghubungkan
antara pulau Lombok dan sumbawa) pada periode Oktober – April merupakan masa
panen cumi-cumi, tiap bulannya tangkapan para nelayan rata-rata bisa mencapai
lebih dari 100 ton. Sebaliknya selama April – September merupakan saat paceklik
cumi-cumi, pada saat paceklik para nelayan ini tentu saja pendapatannya akan
menurun bahkan bisa saja terjadi sama sekali tidak ada pemasukan dari basil
tangkap cumi-cumi ini.
Selain
itu, keberadaan cumi-cumi ini juga sangat tergantung dari kondisi ekosistem
terumbu karang. Terumbu karang bagi cumi-cumi merupakan tempat untuk bertelur
dan mencari makanan. Sayangnya kondisi terumbu karang di perairan Indonesia
saat ini sangat memprihatinkan. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari
Departemen Kelautan dan Perikanan total luas terumbu karang Indonesia mencapai
60 ribu kilometer persegi, sementara yang kondisinya dianggap masih baik kurang
dari 6%. Sisanya yang 94 % tentu saja sangat buruk keadaannya. Melihat fenomena
ini maka bisa diprediksikan bahwa dalam beberapa tahun lagi populasi cumi-cumi
akan mulai berkurang. Hal ini tentu saja juga akan mengakibatkan penurunan
produksi ekspor cumi-cumi.
Populasi
cumi-cumi semakin hari kian terancam keberadaanya, mengingat kini makin
meningkat intensitas pencemaran dan kerusakan lingkungan di laut. Hal ini tentu
saja akan berpengaruh terhadap ekosistem laut terutama cumi-cumi yang tergolong
hewan yang amat peka terhadap pencemaran. Sedikit saja terjadi perbedaan
kualitas air akanmenghindar dari kawasan perairan tersebut.
Melihat
ancaman yang serius dari keberadaan cumi-cumi ini, Mulyono S. Baskoro, Peneliti
dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor, melakukan
penelitian untuk mengembangkan teknik budidaya cumi-cumi. Baskoro pun kini
mulai menikmati hasil kerja kerasnya selama ini dalam menemukan teknik
membudidayakan cumi-cumi.
Dalam
memulai penelitian budidaya cumi-cumi ini, Baskoro memang dihadang berbagai
kendala. Diantaranya disebabkan oleh perilaku hewan itu sendiri yaitu belum mau
dikawin paksa. Maksudnya hewan ini tetap saja hanya mau bertelur di habitat
aslinya. Untuk mengatasi hal ini, Baskoro menemukan sebuah cara yang cukup
cerdik, yakni dengan menyediakan tempat khusus untuk induk cumi-cumi bertelur
yang disebut atraktor. Atraktor ini dipasang di habitat aslinya. Setelah sang
induk bertelur baru telur-telur tersebut dipindahkan ke keramba jaring apung
untuk ditetaskan. Lewat cara ini, Baskoro tidak memaksakan induk cumi-cumi
untuk bertelur di luar habitatnya.
Atraktor
ini sebenarnya merupakan alat sejenis rumpon dengan desain menyerupai bentuk
seperti kelopak bunga. Berdiameter 120 cm dan tinggi 35 cm. Untuk membuat alat
ini sangatlah mudah. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membuat alat ini pun
gampang diperoleh di mana saja. Seperti kawat, tambang dan lembaran plastik
hitam yang berfungsi untuk menutup bagian atas rumpon ini. “Untuk membuat satu
unit atraktor hanya membutuhkan biaya Rp 300 ribu,” ujar Baskoro.
Pakannya
Tak Terlalu Sulit
Alat
ini memang dibuat sedemikian rupa agar cumi-cumi betah berada di dalam sarang
buatan ini. Di dalam atraktor ini ditempatkan serabut-serabut dari tali agar
mirip tumbuhan laut, tempat cumi-cumi biasa meletakkan telurnya. Di bagian atas
atraktor ditutup dengan plastik hitam agar kondisi di dalam rumpon ini gelap
tak tersentuh cahaya matahari. Ini sengaja dilakukan sebab biota laut yang satu
ini memang tergolong hewan yang aktif di saat malam hari.
Meskipun
terlihat sederhana namun untuk penelitian membuat sarang bagi induk cumi-cumi
ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Baskoro telah melakukan penelitian
penggunaan atraktor ini sejak empat tahun yang lalu. Penelitian untuk budidaya
cumi-cumi dan penemuan atraktor ini sejatinya memang dilakukan Baskoro untuk
menolong para nelayan cumi-cumi. “Ide awal membuat alat ini adalah agar para
nelayan tidak kekurangan pasokan cumi-cumi di saat musim paceklik,” ujarnya.
Untuk
mempergunakan alat ini, Baskoro menganjurkan agar seyogyanya diletakkan di
dasar perairan – sekitar 5 – 7 meter dari permukaan laut – yang memang telah di
ketahui menjadi habitat cumi-cumi. Yakni di dasar perairan sekitar terumbu
karang dengan kondisi perairan yang jernih dan arus yang tidak terlalu kuat.
Biasanya bila melihat tempat yang “nyaman dan asyik” cumi-cumi dewasa akan
segera kawin di dalam sarang buatan ini. Idealnya penempatan atraktor ini
dilakukan pada saat musim panen cumi-cumi.
Setelah
satu bulan diletakkan baru terlihat ada telur cumi-cumi yang diletakkan
induknya di alat tersebut. Kemudian selanjutnya telur-telur itu dipindahkan ke
lokasi jaring apung untuk ditetaskan. Lokasi jaring apung ini sebaiknya jangan
terlalu jauh dengan lokasi penempatan atraktor. Hal ini, selain tidak efisien
juga akan menambah resiko rusaknya telur saat dipindahkan. Sekitar dua minggu
setelah dipindahkan baru telur-telur itu akan menetas. Empat bulan kemudian
setelah di pelihara di jaring apung dengan padat penebaran sekitar 50 ekor per
meter3 cumi-cumi ini siap dipanen.
Sumber:
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan,DKP
Seekor
induk cumi-cumi rata-rata mampu menghasilkan sekitar 500 butir telur.
Pembudidaya cumi-cumi seyogyanya memiliki 10 unit atraktor. Artinya saat masa
panen cumi-cumi tiap bulannya mampu mengumpulkan telur cumi sebanyak 5000 buah.
“Lewat teknik ini tingkat keberhasilan-nya hingga panen mencapai 85%,” kata
Baskoro. Artinya saat panen dari 5000 telur itu akan menghasilkan 4250 ekor
cumi-cumi dengan berat sekitar 425 kg. Di tingkat petani harga cumi-cumi saat
ini mencapai sekitar Rp 22 ribu per kilogramnya. Jadi dengan produksi sebanyak
itu pembudidaya akan mendapatkan pendapatan Rp 9,3 juta.
Mengenai
pakan, cumi-cumi tergolong mudah dalam pemberian pakan. Hewan ini tergolong
hewan pemakan daging (karnivora) oleh sebab itu semua biota laut yang bisa
masuk mulutnya akan dimakan. Seperti kerang, ikan dan hewan laut lainnya. Untuk
pemeliharaan juga tidak terlalu sulit. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah
jangan sampai ada pakan yang tersisa di jaring apung. Ini akan mengundang hewan
laut lainnya (ikan atau kepiting) untuk mengambil sisa pakan tersebut di dalam
jaring. Jika ini terjadi ada kemungkinan jaring akan putus, akibatnya cumi-cumi
bisa kabur ke laut bebas.
Satu
lagi yang harus menjadi perhatian serius bagi pembudidaya cumi-cumi adalah soal
pemilihan lokasi jaring apung, lokasinya harus jauh dari kegiatan industri dan
keramaian. Sebab sedikit saja terjadi pencemaran di perairan tersebut maka
sudah dapat dipastikan seluruh cumi-cumi peliharaannya akan mati sia-sia. Hal
ini tentu saja akan sangat merugikan pembudidaya itu sendiri.
Sumber
: Malajah Demersal Agustus 2006
Transfer Teknologi Set-net di Bone
Set-net digadang menjadi alternatif
solusi alat penangkap ikan yang efektif dan ramah lingkungan
Set-net yang dalam bahasa jepang
disebut teichi ami merupakan salah satu teknologi penangkapan ikan ramah
lingkungan yang pengoprasiannya bersifat perangkap (trap). Target
tangkapan dari alat tangkap set-net adalah ikan atau gerombolan ikan yang sedang
melakukan migrasi kearah pantai (coastal migration).
Maka dari itu alat ini dipasang
menetap pada suatu daerah penangkapan ikan (fishing ground). prinsip kerja
set-net ini adalah dengan menghalau ruaya ikan, jalan yang dilalui oleh
ikan dihadang oleh jaring penaju, sehingga ikan akan merubah arah ruayanya
menuju pintu masuk jaring yang telah terpasang sedemikian rupa dan
berakhir pada bagian kantong.
Set-net masuk dalam golongan alat
tangkap pasif, di indonesia terdapat berbagai jenis alat tangkap yang sejenis
dengan set-net seperti bubu, sero (dalam bahasa Bugis disebut belle),
jermal, atau jenis perangkap lainnya. bedanya set-net dipasang pada perairan
yang dalam, namun prinsip kerjanya sama yakni bersifat perangkap.
Ada banyak jenis dan type set-net seperti
dai ami (keddle net), masu ami (pot net), hari ami (fyke net), dashi ami
(barier net),eri mai (sero), dan otoshi ami (trap net). Set-net
dikabupaten Bone masuk dalam type otoshi ami (trap net).
Beberapa keunggulan set-net antara
lain hemat bahan bakar karena set-net dipasang secara menetap sehingga kapal
tidak perlu lagi berlayar jauh dari fhising base dan dipasang secara menetap
sehingga kapal tidak perlu lagi berlayar jauh untuk mencari ikan. dalam
mengoprasikannya pun tidak butuh waktu lama dan dapat dilakukan
secara terus menerus selama memperhatikan perawatan bagian-bagian set-net.
Teknologo set-net diharapkan dapat
mengatasi masalah penggunaan alat tangkap ikan yang terlampau sederhana, kurang
selektif terhadap ikan, dan berpotensi merusak ekosistem laut. Alat
tangkap yang tidak efektif akan mengakibatkan pemborosan bahan bakar minyak
(BBM) karena waktu melaut menjadi lebih lama dengan hasil tangkapan yang lebih
rendah.
Teknologi set-net sangat hemat BBM
kerana umumnya alat tangkap ini dipasang pada jarak 1 mil laut sampai 2 mil
laut dari daratan. Waktu pengoprasian set-net dari mulai berangkat menuju
tempat set-set terpasang sampai proses pengambilan ikan dan kembali lagi ke
fhising base (daerah penangkapan ikan) memerlukan waktu sekitar 2-4 jam
tergantung ukuran set-net yang digunakan.
keunggulan
Set-net
Keunggulan terpenting adalah set5-net
ramah lingkungan karena jaring yang terpasang dilaut dapat berfungsi sebagai
tempat berlindung (shelter) bagi ikan-ikan yang berukuran kecil, tempat bertelur
beberapa jenis cumi-cumi, dan tempat ikan-ikan kecil mencari makan. alat ini
juga mendukung penangkapan selektif karena ikan-ikan yang belum layak konsumsi
dan hewan laut yang dilindungi seperti penyu bisa lepas kembali.
penggunaan set-net ini bisa menggantikan cara penangkapan ikan yang merusak
lingkungan, seperti trawl atau pengguna bahan peledak.
Dari sisi kualitas hasil tangkapan,
ikan eks set-net dapat pula dipasang dan dipadukan dengan kegiatan budidaya
laut lainnya karena bersifat statik.
Namun sebelum mengaplikasi alat ini,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. antara lain pemilihan lokasi (fhising
ground) yang tepat, dan akurasi penggunaan keberadaan dan arah ruaya
ikan. selanjutnya, perlu dipastikan/dipetakan faktor oceanografi pada
lokasi penempatan set-net.
Tidak kalah penting, faktor kondisi
sosial ekonomi masyarakat dan faktor keamanan pada lokasi penempatan juga harus
dipastikan agar keberadaan alat ini dapat lestari. Kemampuan dan keterampilan
SDM dalam melakukan kegiatan set-net tersebut harus dipersiapkan secara matang
agar kelak tidak mangkrak.
Kerhasama
Jepang
Program transfer teknologi set-net
diperairan Tanjung Pallete kecamatan Tanate Riattang Timur kabupaten Bone
Sulawesi Selatan merupakan kerjasama pemerintah Indonesia dengan
Jepang. Pada pelaksanaannya, tim Jepang yang dipimpin oleh Prof Dr
Takafumi Arimoto ini beranggotakan tenaga ahli dari Tokyo University of Marine
Science and Technology (TUMSAT), Himi City, IC NET Limited, dan JICA
Tokyo.
Guna menerima transfer teknologi ini,
Pemerintah Indonesia melibatkan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP)
Universitas Hasanuddin (Unhas), Sekolah Usaha Perikanan Menengah
(SUPM) Negri Bone, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi
Selatan,DKP kabupaten Bone, serta masyarakat nelayan Kelurahan Pallete. Proses
transfer teknologi set-net dimulai pada Agustus 2010 yang dibiayai oleh JICA
Tokyo Jepang.
Project dimulai dari persiapan dan
pengadaan bahan atau material set-netsampai dengan konstruksi set-net. proses
konstruksi set-net dilakukan dikampus SUPM Negri Bone dengan
melibatkan siswa program Studi Nautika Perikanan Laut. Instalasi alat
tangkap set-net dilakukan pada akhir bulan februari 2008, sedengkan operasi
penangkapan dimulai pada tanggal 3 maret 2008.
Program ini berlangsung selama 3 tahun
dan dibawah pengawasan langsung oleh tim dari Jepang. pengoprasian awal set-net
ini dibantu oleh alumni SUPM Negri Bone yang telah magang pada alat
tangkap set-net di Jepang selama 3 tahun.
Selanjutnya, pelaksana pengoprasian
dan perawatan set-net selama 3 tahun dilakukan oleh kelompok nelayan yang telah
dibentuk. Set-net dioprasikan pada pagi hari dan awalnya dilakukan oleh 25
nelayan yang terbentuk dalam 1 kelompok, namun karena beberapa hal dan seiring
dengan berjalannya waktu saat ini pengoprasian set-net dilakukan oleh 7 orang.
Pengoprasian tetap didampingi oleh
teknisi dari SUMP Negri Bone dan dibantu oleh beberapa siswa SUMP Negri Bone
yang bergiliran ikut dalam kegiatan pengoprasian dan perawatan alat
ini. Sebab untuk pengoprasian sistem manual (tenaga manusia) dengan ukuran
set-net seperti yang dilakukan di Bone idealnya dilakukan oleh 10 sampai 15
orang.
Setelah 3 tahun berjalan berakhirlah
pembiayaan dari JICA, sehingga sejak bulan Agustus 2010 keberlanjutan program
ini deserahkan kepada SUPM Negri Bone dengan tetap bekerja sama
dengan nelayan dan DKP Bone.
Spesifikasi
Teknis
Secara teknis, harus dilakukan
pemeriksaan secara rutin terhadap kondisi dan posisi setiap bagian dari
set-net, seperti posisi pemberat rangka kondisi setiap bagian jaring dan
pelampung, serta kondisi tali dan simpulnya. Selanjutnya, diperlukan
perawatan terhadap bagian-bagian set-net secara berkala baik perawatan
dilaut maupun perawatan didarat. untuk itu mutlak disediakan lokasi yang
mendukung dalam melakukan kegiatan perawatan set-net di darat.
Bagian-bagian utama set-net yang
terpasang di Bone terdiri dari Penaju (leader net/ michi-ami/ kaki-ami),
serambi (play ground/ondo-ba/ondo-jo), jaring menarik (slope net/
nobori-ami),kantong (chamber net/hako-ami), rangka utama (main frame),
tali rangka, pelampung (float), dan pemberat (sand bag). panjang penaju set-net
di kab Bone mencapai 240 m ditambvah dengan penaju tambahan 25 m dengan mesh
size 242,4 mm.
Panjang tali rangka serambi sampai
kantong 150 meter dan lebar 22,5 m. mesh size (mata jaring) bagian
serambi dan slope net selebar 121,2 mm sedangkan mesh size bagian kantong
adalah 1inci (224 mm). untuk pemberat pengganti jangkar digunakan 1.500
buah sand bag yang dibuat dari karung diisi kerikil seberat kurang 50 kg.set
net di perairan Tanjung Pallete Bone ini dibenamkan hingga kedalaman 15
meter.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan